Sesuai
dengan apa yang telah saya paparkan di artikel sebelumnya, di kesempatan kali ini
saya akan menceritakan, lebih tepatnya menerjemahkan kisah dari legenda kungfu
muslim Wang Ziping yang saya ambil dari
situs kungfumagazine. Daripada disebut kisah, artikel sekarang lebih tepat
untuk menyebutnya dengan sebutan kesaksian. Hal ini dikarenakan kisah di bawah
ini sebenarnya lebih pada penuturan kisah Wang Ziping berdasarkan kesaksian
cucunya sendiri (Grace Wu). Semoga pembaca yang budiman bisa mengambil hikmah
dari kisah ini. Apabila ada penuturan di bawah ini yang memiliki nilai pembahasaan
yang kurang halus, mohon untuk dimaklumi.
“Orang-orang
sering berkata kepadaku, Grace, kakekmu dan orang tuamu sangatlah terkenal,
jadi kau pasti punya banyak kisah menarik tentang mereka. Ya, aku punya banyak
memiliki beberapa kisah untuk diceritakan. Aku selalu ingat masa-masa yang
sangat menyesakkan di era revolusi budaya, dimana kita hanya diizinkan untuk berlatih
beladiri di kamar tidur sempit di malam hari. Lalu kemudian, penghuni kamar di
bawah akan menusuk-nusuk atap dan berteriak, “Diamlah, kita ingin tidur.” Dengan
beberapa lenguhan panjang, aku kemudian berkomentar, “Bagaimana mungkin aku
bisa menjadi ahli beladiri jika seperti ini?” Aku tidak pernah lupa sedikitpun
akan perkataan kakekku Wang Ziping yang dengan begitu tenang berkata kepadaku, “Xiaogao,
engkau hanya perlu memiliki mimpi, dan hanya dengan itu, kau akan menjadi
apapun yang engkau mau.”
Pada
saat itu, hidup sangatlah susah. Namun biarpun begitu, masa itu merupakan masa
kanak-kanak terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupku. Apa yang kualami jauh
berbeda dengan apa yang anak-anak pada umumnya alami, dan sekarang, ketika aku
memperoleh tujuan yang aku cita-citakan atau pujian, aku akan berterima kasih
kepada masa kecilku, dan tentu saja, ketika teman-temanku mengkritisiku dikarenakan
sikapku yang ekstrim, aku rasa aku juga bisa menyalahkan masa mudaku yang
menyebabkan hal itu terjadi.
IBUKU WANG JURONG
Yang
membawaku ke dalam keluarga beladiri adalah seorang wanita spesial bernama Wang
Jurong, ibuku sendiri. Ingatanku di awal-awal kehidupanku, adalah kehidupan
keluarga kami yang tenang, damai, indah dan saling mencintai. Secara teratur, aku
mengunjungi kakekku Wang Ziping dan nenekku 2 minggu sekali. Setiap Minggu pagi,
aku, kakakku dan anak perempuan tetangga sebelah berlatih melakukan tendangan hingga
mencapai puncak kepala, mencoba melompat dari posisi split, sementara orang-orang dewasa saling lempar satu sama lain, mengangkat
beban, atau berlatih teknik. Sejak usiaku masih 3-4 tahun, nenekku seringkali mengajarkan
sesuatu yang baru di setiap hari Minggu. Kartu laporan taman kanak-kanak yang
kumiliki, bahkan menyatakan kalau aku mencoba untuk mengajarkan beladiri kepada
teman-temanku setelah aku mempelajarinya di rumah. Sungguh sangat menyenangkan ketika
aku bermain beladiri bersama ibu dan ayah. Setelah latihan, aku biasanya
memanjat tiang besar hingga ke puncak tiang tersebut dan melihat kalau kakek
sedang meminum tehnya di lantai dua.
Kakek
dan nenek, selalu tersenyum ketika berada dengan kami. Dalam beberapa kesempatan,
mereka sering membawa kami ke festival atau hanya untuk makan-makan. Walaupun begitu,
aku tidak memiliki kesempatan untuk berbicara dengan kakek dan nenek. Hal ini
dikarenakan kakek dan nenek berbicara menggunakan logat Cina Utara, sedangkan
kami hanya mengerti bahasa lokal Shanghai. Kebanyakan dari komunikasi yang kami
lakukan, diterjemahkan oleh orang yang lebih dewasa.
Sebagian
rumah kakek adalah sebuah klinik dimana beliau mempraktekkan pengobatan
tradisional Cina. Dalam seminggu, akan banyak pasien yang mengunjungi beliau,
belum lagi ditambah dengan teman-teman beliau, murid, dan pengunjung lainnya. Karena
hal ini, aku memiliki banyak kakek, bibi
dan paman yang memiliki nama keluarga berbeda. Mereka sangat ramah dan sering memberikan
hadiah kepada kami. Beberapa dari pengunjung-pengunjung tersebut, adalah
teman-teman yang ikut berlatih kungfu bersama kami.
0 komentar:
Post a Comment